pENGARUH MEDIA CETAK TERHADAP PERILAKU KONSUMTIF REMAJA PUTRI

pENGARUH MEDIA CETAK TERHADAP PERILAKU KONSUMTIF REMAJA PUTRI

Di abad 21 ini perkemangan media baik cetak maupun elektronik mengalami kepesatan. Keberadaan media cetak pun tengah berjaya. Begitu banyaknya bermunculan koran, koran, dan tabloid majalah baru dengan beragam segmentasi. Dari berbagai segmentasi yang ditawarkan, yang paling mendominasi yaitu media yang ditujukan untuk remaja putri khususnya majalah.

Media telah memberikan informasi sekaligus manfaat. Tapi sayangnya, ada beberapa majalah yang secara tidak langsung melakukan sebuah pembodohan kepada kaum hawa yang belum matang.

Apa sih yang ingin ditawarkan oleh majalah itu kepada remaja putr? Menurut pengamatan, media itu memberikan segala informasi yang dibutuhkan remaja putri, untuk membantu proses pembentukan dirinya. Namun yang terjadi bukan suatu arahan untuk membentuk diri mereka sendiri, tapi suatu ajakan yang memicu remaja putri menjadi sosok yang dianggap “normal” dan ideal menurut majalah tadi.

Hampir semua isi artike di majalah remaja putri menekankan kepada masalah pementukan pribadi agar percaya diri atau be yourself mengajarkan, inner beauty adalah nomor satu setelah kecantikan fisik. Lucunya, tulisan ini menjadi terlihat bodoh, karena pada sisi lain majalah itu justru memberikan tips agar mencoba teknik bagi rambut yang tidak lurus. Penulis salah satu korban pembodohan ini dengan membiarkan rambut menderita akibat proses reonding.

Iklan yang ditawaran juga memperkuat para remaja putri untuk mengubah dirinya menjadi sosok ideal (dari segi fisik), yang digambarkan oleh si majalah yaitu cantik, berbadan langsing, kulit putih serta rambut lurus panjang. Bahkan model yang biasa menghiasi majalah itu pun, kebanyakan refleksi cantik ideal dengan ketiga poin diatas.

Ini bisa menjadi hal yang mengkhawatirkan jika remaja putri termakan hal – hal yang ditawarkan, dan menggunakan segala cara agar bisa menjadi sosok “sempurna”.

Terkadang majalah remaja putri saat ini hanya menampilkan realitas hidup remaja di kota besar metropolis. Ini bisa dilihat dari rubrik tren atau mode yang ditampilkan. Misalnya, ulasan tren nongkrong di coffe shop dikalangan anak muda saat in. Tampat yang direkomendasikan pun sering kali termasuk kategori high class, yang mana harga secangkir kopi bisa mencapai Rp 30.000,00

Mungkin tidak akan menjadi masalah bagi remaja yang memang mamp. Tapi bagaimana bagi remaja yang biasa – biasa saja dan ingin sekali mencoba agar bisa dibilang anak gaul dan mengikuti tren. Bisa – bisa mereka menggunakan jalan yang salah demi mendapat uang tambahan, agar bisa dipakai modal untuk menjadi seorang anak gaul zaman sekarang

Hal – hal seperti ini ditakutkan dapat menjerumuskan remaja ke dalam budaya hedonisme, dan menjadi kurang peka terhadap lingkungan sekitar yang kondisinya memprihatinkan. Teantunya, penulis dan semua warga tidak mau jika para remaja khususnya putri tumbuh menjadi generasi yang cuek dan masa bodoh dengan masalah yang dihadapi negara ini.

Memang majalah itu juga mengajarkan peduli terhadap lingkungan sekitarnya tapi porsinya sedikit sekali, dan belum seimbang dibanding ajarannya seputar tren dan tips untuk menjadi remaja masa kini. Pemodohan remaja putri juga tidak hanya terjadi di media cetak, tapi juga elektronik. Sinetron remaja yang ditayangkan kebanyakan hanya menjual mimpi dan kurang mendidik.

Kekhawatiran yang muncul dari perilaku konsumtif dan menganggap penampilan adalah segala – galanya tanpa memikirkan keadaan sebenarnya. Media begitu gencarnya memberi hanya satu pilihan ideal yang tidak mungkin dapat dicapai semua remaja, akibatnya remaja putri ragu atas pendiriannya dan tida ada jalan lain selain mengikuti arus tren.

Sebenarnya masalah ini masalah ini dapat dihindari jika remaja putri lebih bersikap kritis terhadap media, sehingga mereka menyadari apa yang menurut mereka baik dan pas untuk dirinya sendiri. Hanya saja, remaja kita belum banyak mendapat wawasan yang lebih mengenai sikap kritis dalam menghadapi media ini.

Karena itu media massa sebagai agen sosialisasi yang paling efektif, diharapkan bisa memberikan muatan yang sehat serta mendidik dan bukannya membodohi remaja putri dala sajiannya. Agar harapan ini bisa berhasil, pemerintah harus peduli dan berperan aktif dalam menjalankan sistem penyiaran yang baik dan berpihak kepada kepentingan publik.

Membaiknya perekonomian di Indonesia, salah satunya ditandai dengan semakin banyaknya iklan yang menawarkan barang dan jasa. Iklan-iklan tersebut terkadang membuat konsumen tergoda terutama remaja, padahal apa yang ditawarkan oleh iklan belum tentu cocok. Perilaku konsumtif yang ditunjukkan oleh remaja terkadang hanya untuk menunjukkan gengsi bukan karena kebutuhan.

Belanja, adalah kata yang sering digunakan sehari-hari dalam konteks perekonomian, baik di dunia usaha maupun di dalam rumah tangga. Namun, belanja atau shooping tampaknya suda berkembang, artinya menjadi suatu cermin gaya hidup dan rekreasi pada masyarakat kelas ekonomi tertentu. Bahkan, fenomena saat ini umumnya yang doyan belanja adalah remaja. Memang tidak semua yang pergi ke mall untuk berbelanja disebut berprilaku konsumtif. Kata konsumtif disini menjelaskan keinginan mengkonsumsi barang (yang sebenarnya kurang dibutuhkan) secara berlebihan untuk mencapai kepuasan maksimal. Perhatikan teman-teman di sekitar kita, tidak sedikit yang membeli tas, sepatu, ataupun baju hanya karena ikut-ikutan. Fungsi dan penting tidaknya barang-arang tersebut dinomor duakan.

Perilaku konsumtif berbahaya atau tidak, tergantung situasi dan kondisi. Kalau perilaku konsumtif didukung oleh persediaan dana yang cukup, tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah kecenderungan berperilaku konsumtif (yang sebenarnya cukup wajar di kalangan remaja) yag dilakukan secara berlebihan Perilaku konsumtif pada remaja sebenarnya dapat dimengerti bila melihat usia remaja sebagai usia peralihan mancari identitas diri. Remaja ingin diakui eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha menjadi sama dengan oamg lain yang sebaya, itu menyebabkan remaja berusaha untuk mengikuti berbagai atribut. Remaja dalam perkembangan kognitif dan emosinya masih memeandang bahwa atribut yang super fisial itu sama penting (bahkan lebih penting) dengan substansi.

Menjadi masalah ketika kecenderungan yang sebenarnya wajar pada remaja ini dilakukan secara berlebihan. Pepatah “lebih besar pasak daripada tiang” berlaku disini. Terkadang apa yang dituntut oleh para remaja diluar batas kemampuan orang tua. Hal ini menyebabkan banyak orang tua mengeluh saat anaknya mulai memasuki dunia remaja. Dalam hal ini, perilaku tadi tlah menimbulkan masalah ekonomi pada keluarganya. Perilaku konsumtif ini terus mengakar dalam gaya hidup remaja. Mereka akan berkembang menjadi orang dewasa dengan gaya hidup konsumtif.

Bagi produsen, kelompok ini adalah salah satu pasar yang potensial. Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk dari usia remaja. Disamping itu, biasanya remaja mudah terbujuk oleh rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis dan cenderung boros dalam menggunakan uang. Sifat-sifat remaja ini yang sering dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja.

Memang susah menolak keinginan untuk memiliki barang-barang yang diiklankan di media. Televisi yang sarat iklan menawarkan berbagai produk. Belum lagi majalah-majalah remaja yang semakin banyak, dan semuanya secara perlahan-lahan namun pasti menuntun kita pad audaya konsumer. Contoh paling gampang adalah ponsel. Kalau dulu ponsel memang berfungsi sebagai alat komunikasi dan hanya dimiliki oleh kalangan pengusaha. Namun saat ini, ponsel telah menjadi sebuah kebutuhan pokok bagi masyarakat. Bahkan, ponsel dianggap bisa meningkatkan prestise atau nilai diri seseorang sehingga tidak dicap ketinggalan zaman.

Perilaku konsumtif tidak hanya berdampak pada ekonomi, tapi juga dampak psikologis, sosial, bahkan etika. Tidak sedikit dari kita yang frustasi karena orang tua tidak mampu memenuhi segala keinginan kita. Karena itu, mestinya kita bersiap diri terhadap trpaan informasi yang mrnggiring kita ke dalam budaya konsumtif. Pilih-pilih dahulu sebelum membeli barang. Kalau bisa, kita mulai deh pola hidup sederhana dari sekarang. Kita belajar membuat buget untuk serua kebutuhan. Kalo memang tidak penting untuk dibeli, uangnya ditabung saja. Lebih bagus lagi kalau kita bisa membuat usaha sendiri atau bareng teman-teman. Jadi tidak minta orang tua saja. Kalau kita sudah menjadi remaja mandiri. Pasti kita lebih tau bagaimana menyikapi perkembangan zaman yang semakin pesat.
Dikalangan remaja yang memiliki orang tua dengan kelas ekonomi yang cukup berada, terutama di kota-kota besar, mall sudah menjadi rumah kedua. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat mengikuti ode yang sedang beredar. Padahal mode itu sendiri selalu berubah sehingga para remaja merasa tidak puas dengan apa yang dimilikiya.

Dari sejumlah hasil penelitian ada perbedaan antara pria dan wanita. Juga terdapat sifat yang berbeda antara pria dan wanita dalam perilaku membeli. Perbedaan tersebut adalah:
Wanita :
1.Mudah terpengaruh bujukan iklan atau penjual
2.Sering tertipu karena tidak sabaran dalam memilih barang
3.Mempumyai perasaan kurang enak bila tidak membeli sesuatu setelah memasuki toko
4.Kurang menimati kegiatan berbelanja sehingga sering terburu-buru mengambil keputusan membeli
Pria :
1.Lebih tertarik pada warna dan bentuk
2.Tidak mudah terbawa arus bujukan penjual
3.Menyenangi hal-hal yang romantis daripada objektif
4.Cepat merasakan suasana toko
5.Senang melakukan kegiatan belanja walaupun hany window shopping (melihat-lihat saja tanpa membeli)

Daftar ini masih dapat diprtanyakan apakah memang benar ada gaya yang berbeda dalam membeli antar pria dan wanita. Selain itu, penelitian-penelitian yang telah dilakukan belum mendapatkan hasil yang konsisten apakah remaja pria atau wanita yang lebih banyak memdelanjakan uangnya. Ada hubungan positif yang signifikan antara sikap terhadap iklan di televisi dengan perilaku konsumtif.

Gaya hidup konsumtif seperti ini harus didukung oleh kekuatan finansial yang memadai. Masalah lebih besar terjadi aabila pencapaian tingkat finansial itu dilakukan dengan segala cara yang tidak sehat. Mulai dari pola kerj yang berlebihan sampai menggunakan cara instan seperti korupsi.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

kita juga punya nih artikel mengenai Perilaku konsumtif, silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya
http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/3519/1/JURNAL_2.pdf
semoga bermanfaat

Unknown mengatakan...

kita juga punya nih artikel mengenai Perilaku konsumtif, silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya
http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/3519/1/JURNAL_2.pdf
semoga bermanfaat