Keamanan pangan menjadi salah satu isu yang menyita perhatian beberapa organisasi kesehatan di dunia

Keamanan pangan menjadi salah satu isu yang menyita perhatian beberapa organisasi kesehatan di dunia

Pada era modern seperti sekarang, tuntutan akan kualitas suatu produk sudah menjadi perhatian bukan hanya kuantitas saja. Hal demikian menuntut perusahaan untuk menghasilkan produk yang memiliki kualitas sehingga mampu bersaing dalam pasar dan dengan harapan agar dapat diterima oleh konsumen. Sehingga apabila produk yang dihasilkan tidak memiliki kualitas yang diharapkan konsumen maka kelangsungan perusahaan tersebut dapat terancam.
Demikian juga yang terjadi pada perusahaan yang bergerak pada bidang pangan, tentunya kualitas menjadi hal yang harus mendapat perhatian khusus. Apalagi dewasa ini tingkat persaingan perusahaan semakin tinggi dan ditambah dengan terbukanya persaingan global. Dengan hal ini tentunya perusahaan yang tidak siap dengan persaingan gobal akan tertindas, oleh karena itu mutu menjadi hal yang mutlak dimiliki oleh sebuah perusahaan jika ingin tetap berdiri ditengah persaingan.
Pada perusahaan yang bergerak dalam bidang pangan tentunya selain kualitas atau mutu keamanan pangan juga harus diperhatikan. Seperti yang terjadi belum lama ini keamanan pangan menjadi salah satu isu yang menyita perhatian beberapa organisasi kesehatan di dunia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Food and Agriculture Organization (FAO) kini memberikan penekanan bagi seluruh negara agar memperkuat sistem keamanan pangan. Demikian seperti dikutip dari situs resmi Badan kesehatan dunia tersebut. Negara-negara juga diminta agar meningkatkan kewaspadaan terhadap para produsen dan penjual yang terlibat dalam industri pangan. Kejadian terkait isu keamanan pangan baru-baru ini, seperti temuan melamin hasil industri kimia pada pakan hewan dan ikan, atau penggunaan tanpa izin obat-obatan hewan tertentu pada peternakan ikan, dapat berpengaruh pada kesehatan dan sering berakibat pada penolakan produk pangan dalam perdagangan internasional.
Hal seperi diatas mungkin bisa diatasi apabila masyarakat mengerti akan pentingnya keamanan pangan bagi manusia. Permasalahan terkait keamanan pangan sering disebabkan ketiadaan pengetahuan tentang persyaratan keamanan pangan dan implikasinya serta penggunaan resep yang illegal dan curang, antara lain penyedap masakan maupun obat-obatan hewan yang tidak terdaftar. Selama 12 bulan terakhir, rata-rata 200 kasus keamanan pangan per bulan telah diselidiki oleh WHO dan FAO untuk menentukan dampak kesehatan terhadap masyarakat. Informasi kejadian keamanan pangan dari kepentingan internasional dimiliki bersama dengan Negara-negara melalui the International Food Safety Authorities Network (INFOSAN).
Di negara-negara yang sudah maju, standar mutu dan keamanan obat, pangan dan kosmetika diperlakukan sangat ketat. Hal ini dapat dilihat dari sangat ketatnya regulasi terkait dengan produksi seperti GMP (Good Manufacturing Practices) dan cGMP (Current GMP) yang harus dipenuhi oleh produsen di sana. Produk-produk yang sudah beredar pun mendapat pengawasan ketat dari Pemerintah dengan sanksi berat apabila ada pelanggaran di dalamnya. Dalam hal ini, obat dipandang sebagai produk yang sangat spesial, karena obat harus efektif, bermutu, berkhasiat dan aman. Untuk memenuhi persyaratan ini tidaklah heran apabila penemuan sebuah obat baru menelan waktu yang panjang (10-15 tahun) karena harus menempuh liku-liku pengujian yang sangat rumit sehingga menelan biaya yang besar (sekitar 300-500 juta US $). Standar mutu dan keamanan yang tinggi juga diterapkan pada produk pangan. Hal inilah yang berimbas kepada perdagangan internasional, karena produk yang masuk ke negara-negara tersebut juga harus tunduk terhadap regulasi itu. Sebagai contoh, udang beku yang diekspor ke Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang harus memenuhi standar mutu dan keamanan yang diberlakukan di sana misalnya dalam hal kandungan residu antibiotika dan bahan kimia berbahaya lainnya. Yang dirasa sangat menyulitkan bagi pelaku usaha adalah semakin ketatnya regulasi itu sehingga hal ini benar-benar menjadi hambatan teknis bagi petani tambak dan eksportir udang kita yang memasarkan produknya di sana.
Keamanan pangan juga menjadi masalah yang terjadi di negara-negara berkembang. Tantangan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang seperti pertumbuhan penduduk dan urbanisasi, perubahan pola makan, intensifikiasi dan industrialisasi produk pertanian dan pangan. Hal tersebut berimplikasi pada sistem produksi pangan. Kondisi iklim, sanitasi dan infrastruktur publik yang buruk menambah kesulitan ini. Perundang-undangan mengenai keamanan pangan di banyak negara berkembang sering tidak lengkap dan usang atau tidak sejalan dengan persyaratan internasional. Tanggung jawab keamanan pangan dan pengendaliannya cenderung terpecah pada banyak institusi. Sementara itu, banyak laboratorium kekurangan peralatan regular dan peralatan penting. Sistem keamanan pangan yang lemah dapat menyebabkan kejadian permasalahan keamanan pangan yang lebih sering dan penyakit akibat mikroorganisme seperti Salmonella, E. Coli, Campylobacter dan Listeria, melalui residu bahan kimia (pestisida, obat ternak dan lain-lain) serta penggunaan pangan tambahan yang tidak berizin. Diare saja, yang terutama disebabkan air dan pangan yang tidak aman, menyebabkan 1,8 jita anak meninggal setiap tahun.
Untuk menjamin produksi pangan yang aman bagi konsumen dan untuk memenuhi persyaratan internasional tentang kebersihan dan phytosanitary bagi eksport pangan, otoritas keamanan pangan nasional harus lebih waspada. Produsen dan pedagang harus bertanggungjawab terhadap produksi pangan yang aman pada seluruh rantai atau jaringan pangan.
Di Indonesia sendiri masalah keamanan pangan menjadi hal yang perlu mandpat perhatian khusus dari semua pihak. Dalam beberapa tahun terakhir, kita dapat melihat mencuatnya kasus keracunan makanan seperti adanya kasus keracunan sari buah di Surabaya (Mei 2004), kasus keracunan sebagian besar karyawan sebuah Televisi Swasta di Jakarta setelah mengkonsumsi katering perusahaan, kasus keracunan susu pada siswa-siswa SD, dan sebagainya.
Kasus keracunan di Indonesia kebanyakan disebabkan oleh sektor catering. Hal ini tentu saja disebabkan karena tidak adanya Bagian Quality Control dan rendahnya pengetahuan cara mengolah makanan dan minuman secara aman, serta kurangnya kontrol terhadap kebersihan para pekerja catering.Meskipun kasus keracunan yang timbul dari sektor industri cukup rendah, bukan berarti kasus keracunan yang berasal dari sektor industri tidak ada. Bahaya terhadap pangan dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu bahaya fisik, bahaya kimia dan bahaya biologi. Peningkatan kasus keracunan makanan akibat bahaya biologi dalam beberapa tahun terakhir timbulnya cukup banyak varian dari mikroba, bakteri dan virus, seperti E.Coli 0157, E.Coli 0111, Salmonella Enteritidis, Norwalk viruses, dan lain-lain. Sedangkan untuk bahaya kimiawi juga mengalami peningkatan yang signifikan karena adanya peningkatan teknologi dan teknik analitik. Kontaminasi bahaya terhadap pangan harus mulai dicermati pada seluruh proses rantai makanan.
Konsep pengawasan keamanan pangan yang dikembangkan Badan POM RI adalah pengawasan keamanan pangan secara total (total food safety control). Ini mutlak dilakukan karena masalah keamanan pangan dapat terjadi di mana saja dari mulai pangan dibudidayakan hingga siap dikonsumsi. Dengan demikian perlu kerja sama yang erat antara pihak-pihak yang terkait dengan keamanan pangan. Selain peran instansi pemerintah, peran industri dan konsumen tidak kalah pentingnya, karena meningkatkan keamanan pangan adalah tugas dan tanggung jawab bersama.
Keamanan pangan, masalah dan dampak penyimpangan mutu, serta kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam pengembangan sistem mutu industri pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri dan konsumen, yang saat ini sudah memulai mengantisipasinya dengan implementasi sistem mutu pangan. Karena di era pasar bebas ini industri pangan Indonesia mau tidak mau sudah harus mampu bersaing dengan derasnya arus masuk produk industri pangan negara lain yang telah mapan dalam sistem mutunya dan memuncaknya barang dipasaran sehingga kurangnya pengawasan dapat menjadikan bahaya terhadap konsumen.
Oleh karena itu, diperlukan kesadaran dari semua pihak yang terlibat didalamnya tentang pentingnya menjaga mutu dan keamanan produk. Selain itu kedewasaan juga diperlukan oleh pihak produsen untuk tidak selalu mengejar keuntungan tanpa memperhatikan keamanan maupun mutu dari produk tersebut. Ini juga menjadi tanggung jawab kita semua untuk mendapatkan mutu dan keamanan pangan yang benar-benar berkualitas khususnya di Indonesia dan tentunya negara-negara lain.
















MUTU DAN KEAMANAN PRODUK
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering kali membicarakan masalah mutu, misalnya sebagian besar produk yang berasal dari luar negeri memiliki mutu yang lebih bagus dibandingkan produk dalam negeri. Sesungguhnya apa mutu itu? Pertanyaan ini sangat banyak jawabannya, karena maknanya akan lain bagi setiap orang dan tergantung pada konteksnya. Mutu sendiri memiliki banyak kriteria yang terus berkembang secara terus menerus sesuai tempatnya.
Meskipun tidak ada definisi mengenai mutu yang dapat diterima secara universal, intisari elemen-elemen mutu (Tjiptono dan Diana,1995) dapat dipahami sebagai berikut:
Mutu meliputi usaha memenuhi atau meliputi harapan pelanggan
Mutu mencakup produk, jasa manusia, proses dan lingkungan
Mutu merupakan kondisi yang selalu berubah
Oleh karena itu Juran dalam Tjiptono dan Diana (1995) mengartikan mutu adalah Fitness for use, memiliki dua aspek utama:
1.      Ciri-ciri produk yang memenuhi permintaan pelanggan. Mutu yang lebih tinggi memungkinkan perusahaan meningkatkan kepuasan pelanggan, membuat produk laku terjual, dapat bersaing dengan pesaing, meningkatkan pangsa pasar dan volume penjualan, serta dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi.
2.      Bebas dari kekurangan. Mutu yang tinggi menyebabkan perusahaan dapat mengurangi tingkat kesalahan, mengurangi pengerjaan kembali dan pemborosan, mengurangi biaya garansi, mengurangi ketidakpuasan pelanggan, mengurangi inspeksi dan pengujian, memperpendek waktu pengiriman produk ke pasar, meningkatkan hasil dan kapasitas, dan memperbaiki kinerja penyampaian produk atau jasa.
Menurut Hubeis (1999), konsep mutu yang berlaku umum maupun khusus pada bidang pangan erat kaitannya dengan era mutu, dimulai dengan inspeksi atau pengawasan pada tahun 1920-an yang menekankan pada pengukuran. Pada tahun 1960 mengarah ke pengendalian mutu dengan pendekatan teknik statistika berupa grafik, histogram, tabel, diagram pencar dan perancangan percobaan. Sedangkan tahun 1980-an berorientasi pada jaminan mutu (quality assurance) dan tahun 1990-an terfokus pada manajemen mutu total (Total Quality Management atau TQM). Masih dalam Hubeis (1999), dikatakan pula bahwa permasalahan mutu bukan sekedar masalah pengendalian mutu atas barang dan jasa atau standar mutu barang (product quality), tetapi sudah bergerak ke penerapan dan penguasaan TQM menuju world class performance yang dimanifestasikan dalam ISO (International Standar’s Organization).
Sistem mutu menurut ISO 9000 dalam Kadarisman (1994) mencakup:
1.        Mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh produk atau jasa, yang menunjukan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ditentukan (tersurat) maupun yang tersirat;
2.        Kebijakan Mutu adalah keseluruhan maksud dan tujuan organisasi (perusahaan) yang berkaitan dengan mutu yang secara formal dinyatakan oleh pimpinan puncak;
3.        Manajemen Mutu adalah seluruh aspek fungsi manajemen yang menetapkan dan melaksanakan kebijakan mutu yang telah dinyatakan oleh pimpinan puncak;
4.        Pengendalian Mutu teknik-teknik dan kegiatan-kegiatan operasional yang digunakan untuk memenuhi persyaratan mutu. Pengendalian mutu meliputi monitoring suatu proses, melakukan tindakan koreksi bila ada ketidaksesuaian dan menghilangkan penyebab timbulnya hasil yang kurang baik pada tahapan rangkaian mutu yang relevan untuk mencapai efektivitas yang ekonomis;
5.        Jaminan Mutu adalah seluruh perencanaan dan kegiatan sistematis yang diperlukan untuk memberikan suatu keyakinan (jaminan) yang memadai bahwa suatu produk atau jasa akan memenuhi persyaratan tertentu.
Banyak perusahaan menginginkan adanya peningkatan mutu dan telah mencurahkan berbagai upaya untuk mewujudkan keinginannya. Akan tetapi upaya-upaya ini sering lebih mengarah kepada kegiatan-kegiatan inspeksi serta memperbaiki cacat dan kegagalan selama proses produksi. Kegiatan inspeksi saja tidak dapat membangun mutu kedalam suatu produk. Mutu harus dirancang dan dibentuk kedalam produk. Kesadaran mutu harus dimulai pada tahap sangat awal yaitu gagasan konsep produk, setelah persyaratan-persyaratan konsumen diidentifikasi. Kesadaran upaya membangun mutu ini harus dilanjutkan melalui berbagai tahap pengembangan dan produksi, sampai setelah pengiriman produk kepada konsumen untuk memperoleh umpan balik.
Penerapan konsep mutu di bidang pangan dalam arti luas menggunakan penafsiran yang beragam. Kramer dan Twigg (1983) menyatakan bahwa mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik (warna, tekstur, rasa dan bau). Hal ini digunakan konsumen untuk memilih produk secara total. Gatchallan (1989) dalam Hubeis (1994) berpendapat bahwa mutu dianggap sebagai derajat penerimaan konsumen terhadap produk yang dikonsumsi berulang (seragam atau konsisten dalam standar dan spesifikasi), terutama sifat organoleptiknya. Juran (1974) dalam Hubeis (1994) menilai mutu sebagai kepuasan (kebutuhan dan harga) yang didapatkan konsumen dari integritas produk yang dihasilkan produsen. Menurut Fardiaz (1997), mutu berdasarkan ISO/DIS 8402–1992 didefinsilkan sebagai karakteristik menyeluruh dari suatu wujud apakah itu produk, kegiatan, proses, organisasi atau manusia, yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan yang telah ditentukan.
Konsep mutu dimaksudkan untuk mengidentifikasi seluruh tugas yang berkaitan dengan mutu, mengalokasikan tanggung jawab dan membangun hubungan kerjasama dalam perusahaan. Konsep mutu juga dimaksudkan untuk membangun mekanisme dalam rangka memadukan semua fungsi menjadi suatu konsep yang menyeluruh. Suatu konsep jaminan mutu harus bersifat transparan sehingga kedua belah pihak baik perusahaan maupun para pelanggan secara jelas dapat mengetahui bagaimana perusahaan berniat memastikan bahwa produknya akan memenuhi semua persyaratan mutu. Oleh karena itu, didalam sistem standar jaminan mutu mempersyaratkan manajemen secara formal, mendokumentasikan kebijakan mutunya, memastikan kebijakan tersebut dimengerti oleh semua jajaran dan melakukan langkah-langkah tepat untuk memperlihatkan kebijakan tersebut dilaksanakan secara penuh. Pada saat menentukan kebijakan mutu, manajemen harus dengan jelas menyatakan bahwa salah satu tujuan utama perusahaan adalah kepuasan penuh pelanggannya sebab eksistensinya sangat tergantung kepada dukungan konsumen secara kontinyu.
Kramer dan Twigg (1983) mengklasifikasikan karakteristik mutu bahan pangan menjadi dua kelompok, yaitu : (1) karakteristik fisik/tampak, meliputi penampilan yaitu warna, ukuran, bentuk dan cacat fisik; kinestika yaitu tekstur, kekentalan dan konsistensi; flavor yaitu sensasi dari kombinasi bau dan cicip, dan (2) karakteristik tersembunyi, yaitu nilai gizi dan keamanan mikrobiologis. Berdasarkan karakteristik tersebut, profil produk pangan umumnya ditentukan oleh ciri organoleptik kritis, misalnya kerenyahan pada keripik. Namun, ciri organoleptik lainnya seperti bau, aroma, rasa dan warna juga ikut menentukan. Pada produk pangan, pemenuhan spesifikasi dan fungsi produk yang bersangkutan dilakukan menurut standar estetika (warna, rasa, bau, dan kejernihan), kimiawi (mineral, logam–logam berat dan bahan kimia yang ada dalam bahan pangan), dan mikrobiologi ( tidak mengandung bakteri Eschericia coli dan patogen).
Kadarisman (1996) berpendapat bahwa mutu harus dirancang dan dibentuk ke dalam produk. Kesadaran mutu harus dimulai pada tahap sangat awal, yaitu gagasan konsep produk, setelah persyaratan–persyaratan konsumen diidentifikasi. Kesadaran upaya membangun mutu ini harus dilanjutkan melalui berbagai tahap pengembangan dan produksi, bahkan setelah pengiriman produk kepada konsumen untuk memperoleh umpan balik. Hal ini karena upaya–upaya perusahaan terhadap peningkatan mutu produk lebih sering mengarah kepada kegiatan–kegiatan inspeksi serta memperbaiki cacat dan kegagalan selama proses produksi.
Berbicara mengenai mutu tidak bisa lepas dari penegendalian mutu itu sendiri. Pengendalian mutu produk pangan menurut Hubeis (1999), erat kaitannya dengan sistem pengolahan yang melibatkan bahan baku, proses, pengolahan, penyimpangan yang terjadi dan hasil akhir. Sebagai ilustrasi, secara internal (citra mutu pangan) dapat dinilai atas ciri fisik (penampilan: warna, ukuran,bentuk dan cacat; kinestika: tekstur, kekentalan dan konsistensi; citarasa: sensasi, kombinasi bau dan cicip) serta atribut tersembunyi (nilai gizi dan keamanan mikroba). Sedangkan secara eksternal (citra perusahaan) ditunjukkan oleh kemampuan untuk mencapai kekonsistenan mutu (syarat dan standar) yang ditentukan oleh pembeli, baik di dalam maupun di luar negeri. Pengendalian mutu pangan juga bisa memberikan makna upaya pengembangan mutu produk pangan yang dihasilkan oleh perusahaan atau produsen untuk memenuhi kesesuaian mutu yang dibutuhkan konsumen. Untuk ilustrasi sederhana, suatu kegiatan pengendalian mutu yang dilakukan suatu pasar swalayan, yaitu melakukan sortasi berulang-ulang terhadap sayur dan buah-buahan yang diperoleh dari pemasok sebelum siap dijual. Misalnya penerimaan diidentifikasikan oleh kondisi daun hijau segar dan tidak kekuningan atau coklat, daun tidak berlubang, batang/tangkai daun tidak lecet/luka atau patah, tidak berbau yang tidak enak, warna cerah dan mengkilap, tidak layu dan tidak berserangga/berulat; dan untuk buah-buahan dicirikan oleh tingkat kematangan optimum, ukuran dan bentuk relatif seragam, tidak berlubang, tidak cacat fisik dan permukaan menarik.
Pengawasan mutu merupakan program atau kegiatan yang tidak dapat terpisahkan dengan dunia industri, yaitu dunia usaha yang meliputi proses produksi, pengolahan dan pemasaran produk. Industri mempunyai hubungan yang erat sekali dengan pengawasan mutu karena hanya produk hasil industri yang bermutu yang dapat memenuhi kebutuhan pasar, yaitu masyarakat konsumen. Seperti halnya proses produksi, pengawasan mutu sangat berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Makin modern tingkat industri, makin kompleks ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untuk menangani mutunya. Demikian pula, semakin maju tingkat kesejahteraan masyarakat, makin besar dan makin kompleks kebutuhan masyarakat terhadap beraneka ragam jenis produk pangan. Oleh karena itu, sistem pengawasan mutu pangan yang kuat dan dinamis diperlukan untuk membina produksi dan perdagangan produk pangan.
 Pada tahun 1980-an beberapa perusahaan besar Amerika Serikat memperkenalkan konsep perbaikan yang terus menerus (quality thinking) yang dikenal Total Quality Management (TQM) atau Integrated Quality Control (IQT). TQM merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi/perusahaan melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses dan lingkungannya, (Tjiptono dan Diana, 1995).
Oleh karena itu pendekatan mutu total ini hanya akan dapat dicapai dengan memperhatikan karakteristik TQM (Tjiptono dan Diana, 1995), sebagai berikut:
a.     Fokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal.
b.     Memiliki obsesi yang tinggi terhadap kualitas
c.      Menggunakan pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah
d.     Memiliki komitmen jangka panjang
e.      Membutuhkan kerjasama tim
f.       Memperbaiki proses secara berkesinambungan
g.      Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
h.      Memberikan kebebasan yang terkendali
i.        Memiliki kesatuan tujuan
j.        Adanya keterlibatan dan pemberdayaan
TQM juga dapat dikatakan sebagai perkembangan atau proses lanjutan dari pengendalian mutu (sistem) yang berorientasi ke standar jaminan mutu (keunggulan kompetitif) untuk meningkatkan kualitas produksi dan efisiensi kerja di segala bidang (mengurangi kegagalan), terutama pada sektor yang menghasilkan produksi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk memuaskan konsumen secara menyeluruh (Hubies,1999). Pendekatan ini dinilai memberikan alternatif kepada perusahaan untuk tumbuh secara bertahap, meningkatkan mutu dan meningkatkan pangsa pasar dan keuntungan diukur dari kinerja yang terdiri atas tujuan, mutu, biaya, pelayanan, keandalan dan hubungan konsumen.
Hubeis (1999) memberikan ilustrasi dari penerapan TQM, pada kasus industri daging ayam potong yang dimulai dari pembiak bibit, peternak, perusahaan pakan, peternakan ayam, transportasi, rumah potong ayam, pengolahan, distribusi dan sampai ke konsumen dilakukan pengendalian tidak hanya pada produk akhir (daging), tetapi juga pengawasan terhadap proses lain yang terkait dengan mata rantai pemasaran, produk antara dan jasa. Masalah tersebut dapat dipecahkan dengan perbaikan mutu yang terus menerus dan kepuasan konsumen. Dalam hal ini pengetahuan (sanitasi dan teknologi mutu produk pada akhir siklus) dan pengendalian proses produksi (misal sistem produksi intensif dengan 90 % produksi ayam potong berasal dari ayam hibrida) serta koordinasi seluruh hal terkait (kemitraan dan penerapan pengendalian mutu) adalah penting untuk menghasilkan mutu yang baik.
Memperoleh pangan dalam jumlah cukup, bermutu, bergizi, dan aman untuk dikonsumsi adalah hak setiap orang. Karena itu, pangan yang tersedia baik pangan segar maupun pangan olahan harus selalu terjamin keamanannya agar masyarakat terhindar dari bahaya kesehatan karena pangan yang tidak aman dikonsumsi. Bukan hanya itu, pangan yang aman juga meningkatkan perdagangan yang adil dan jujur. Dan menghasilkan pangan yang aman dan bermutu tinggi akan terus meningkatkan citra Indonesia di lingkungan global.
Konsep pengawasan keamanan pangan yang dikembangkan Badan POM RI adalah pengawasan keamanan pangan secara total (total food safety control). Ini mutlak dilakukan karena masalah keamanan pangan dapat terjadi di mana saja dari mulai pangan dibudidayakan hingga siap dikonsumsi. Dengan demikian perlu kerja sama yang erat antara pihak-pihak yang terkait dengan keamanan pangan. Selain peran instansi pemerintah, peran industri dan konsumen tidak kalah pentingnya, karena meningkatkan keamanan pangan adalah tugas dan tanggung jawab bersama. Menindaklanjuti kerja sama antarpihak tersebut, Badan POM RI dengan bantuan tenaga ahli dari Australian Agency for International Development (AUS-AID) melalui Australia-Indonesia Government Sector-Linkages Program (GSLP) pada 2002 menginisiasi suatu Sistem Keamanan Pangan Terpadu (Integrated Food Safety System) dengan mengajak seluruh pihak terkait untuk bersama-sama mewujudkan keamanan pangan di Indonesia.
Salah satu bentuk keamanan pangan adalah Sistem Keamanan Pangan Terpadu (SKPT). SKPT adalah forum kerja sama antarinstansi terkait untuk memantapkan program keamanan pangan di Indonesia. Lembaga-lembaga (stakeholders) yang terkait dalam sistem ini adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Pendidikan Nasional, Badan Standarisasi Nasional, Pemerintah Daerah, universitas-universitas, lembaga-lembaga penelitian, laboratorium pemerintah dan swasta, asosiasi industri dan perdagangan, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lain-lain.
Pencanangan penerapan SKPT secara Nasional dilaksanakan pada 13 Mei 2004. Model SKPT dibentuk untuk mencapai harmonisasi program keamanan pangan dan laboratorium yang berstandar internasional. Model ini berdasarkan pada pedoman yang dikeluarkan WHO: Guidelines for Strengthening a National Food Safety Programme. Stakeholder kunci dan tanggung jawab mereka terhadap keamanan pangan dipetakan dengan model WHO tersebut. Dengan motto 'Bersama-sama Kita Membangun Keamanan Pangan di Indonesia' diharapkan semua pihak terkait sesuai dengan tugas dan bidangnya masing-masing mengoptimalkan kapasitasnya untuk tujuan peningkatan keamanan pangan di Indonesia.

























OBAT TRADISIONAL DAN PEMANFAATANNYA


2.1. Pengertian obat alami
Obat alami sudah dikenal dan digunakan di seluruh dunia sejak beribu tahun yang lalu (Sidik, 1998). Di Indonesia, penggunaan obat alami yang lebih dikenal sebagai jamu, telah meluas sejak zaman nenek moyang hingga kini dan terus dilestarikan sebagai warisan budaya. Bahan baku obat alami ini, dapat berasal dari sumber daya alam biotik maupun abiotik. Sumber daya biotik meliputi jasad renik, flora dan fauna serta biota laut, sedangkan sumber daya abiotik meliputi sumber daya daratan, perairan dan angkasa dan mencakup kekayaan/ potensi yang ada di dalamnya.
Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, memiliki keanekaragaman obat tradisional yang dibuat dari bahan-bahan alami bumi Indonesia, termasuk tanaman obat. Indonesia yang dianugerahi kekayaan keanekaragaman hayati tersebut, memiliki lebih dari 30.000 spesies tanaman dan 940 spesies di antaranya diketahui berkhasiat sebagai obat atau digunakan sebagai bahan obat (Puslitbangtri, 1992). Keanekaragaman hayati Indonesia ini diperkirakan terkaya kedua di dunia setelah Brazil dan terutama tersebar di masing-masing pulau-pulau besar di Indonesia.
Pengembangan obat alami ini memang patut mendapatkan perhatian yang lebih besar bukan saja disebabkan potensi pengembangannya yang terbuka, tetapi juga permintaan pasar akan bahan baku obat-obat tradisional ini terus meningkat untuk kebutuhan domestik maupun internasional. Hal ini tentunya juga akan berdampak positif bagi peningkatan pendapatan petani dan penyerapan tenaga kerja baik dalam usaha tani maupun dalam usaha pengolahannya.
Yang dimaksud dengan obat alami adalah sediaan obat, baik berupa obat tradisional, fitofarmaka dan farmasetik, dapat berupa simplisia (bahan segar atau yang dikeringkan), ekstrak, kelompok senyawa atau senyawa murni yang berasal dari alam, yang dimaksud dengan obat alami adalah obat asal tanaman. Pada tabel di bawah ini dapat dilihat daftar beberapa tanaman obat yang mempunyai prospek pengembangan yang potensial.
Tabel Tanaman obat fitofarmaka yang prospektif
No.
Tanaman obat
Bagian tan. obat
Indikasi potensi
1.
Temulawak
(Curcuma xantorrhiza oxb)
Umbi
Hepatitis, artritis
2.
Kunyit
(Curcuma domestica Val)
Umbi
Hepatitis, artritis, antiseptik
3.
Bawang putih
(Allium sativum Lynn)
Umbi
Kandidiasis, hiperlipidemia
4.
Jati Blanda
(Guazuma ulmifolia Lamk)
Daun
Anti hiperlipidemia
5.
Handeuleum (Daun ungu)
(Gratophyllum pictum Griff)
Daun
Hemoroid
6.
Tempuyung
(Sonchus arvensis Linn)
Daun
Nefrolitiasis, diuretik
7.
Kejibeling
(Strobilanthes crispus Bl)
Daun
Nefrolitiasis, diuretik
8.
Labu merah
(Cucurbita moschata Duch)
Biji
Taeniasis
9.
Katuk
(Sauropus androgynus Merr)
Daun
Meningkatkan produksi ASI
10.
Kumis kucing
(Orthosiphon stamineus Benth)
Daun
Diuretik
11.
Seledri
(Apium graveolens Linn)
Daun
Hipertensi
12.
Pare
(Momordica charantia Linn)
Buah
Biji
Diabetes mellitus
 
13.
Jambu biji (klutuk)
(Psidium guajava Linn)
Daun
Diare
14.
Ceguk (wudani)
(Quisqualis indica Linn)
Biji
Askariasis, oksiuriasis
15.
Jambu Mede
(Anacardium occidentale)
Daun
Analgesik
16.
Sirih
(Piper betle Linn)
Daun
Antiseptik
17.
Saga telik
(Abrus precatorius Linn)
Daun
Stomatitis aftosa
18.
Sebung
(Blumea balsamifera D.C)
Daun
Analgesik, antipiretik
19.
Benalu the
(Loranthus spec. div.)
Batang
Anti kanker
20.
Pepaya
(Carica papaya Linn)
Getah
Daun
Biji
Sumber papain
Anti malaria
Kontrasepsi pria
21.
Butrawali
(Tinospora rumphii Boerl)
Batang
Anti malaria, diabetes melitus
22.
Pegagan (kaki kuda)
(Centella asiatica Urban)
Daun
Diuretika, antiseptik, antikeloid, hipertensi
23.
Legundi
(Vitex trifolia Linn)
Daun
Antiseptik
24.
Inggu
(Ruta graveolens Linn)
Daun
Analgesik, antipiretik
25.
Sidowajah
(Woodfordia floribunda Salibs)
Daun
Antiseptik, diuretik
26.
Pala
(Myristica fragrans Houtt)
Buah
Sedatif
27.
Sambilata
(Adrographis paniculata Nees)
Seluruh tanaman daun
Antiseptik, diabetes melitus
28.
Jahe (Halia)
(Zingibers officinale Rosc)
Umbi
Analgesik. Antipiretik, antiinflamasi
29.
Delima putih
(Punica granatum Linn)
Kulit buah
Antiseptik, antidiare
30.
Dringo
(Acorus calamus Linn)
Umbi
Sedatif
31.
Jeruk nipis
(Citrus aurantifolia Swiqk)
Buah
Antibatuk

2.2. Manfaat bagi kesehatan manusia
Di samping kebutuhan akan sandang, pangan, papan serta pendidikan, kesehatan juga merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, karena dengan kondisi kesehatan yang baik dan kondisi tubuh yang prima, manusia dapat melaksanakan proses kehidupan, tumbuh dan menjalankan aktivitasnya dengan baik. Apabila terjadi suatu keadaan sakit atau gangguan kesehatan, maka obat akan menjadi suatu bagian penting yang berperan aktif dalam upaya pemulihan kondisi sakit tersebut.
Selama ini, pembangunan kesehatan meletakkan ilmu pengobatan Barat (modern) sebagai dasar sistem kesehatan nasional, begitu pula berbagai peraturan dan kebijakan lebih banyak menyangkut obat-obatan modern. Di lain pihak, merujuk pada filosofi pengobatan Timur, eksistensi manusia tidak terpisah dari unsur alam semesta, yang meliputi air, api, tanah dan udara. Keberadaan manusia di tengah kehidupan harus dipandang secara holistik. Ketika manusia terganggu kesehatannya, harmoni kehidupannyapun terganggu. Pada saat inilah manusia membutuhkan obat untuk memulihkan kesehatannya.
Berbicara mengenai obat alami, sumber penggunaannya dapat ditelusuri dari budaya dan konsep kesehatan dari beberapa prinsip pandang di antaranya Ayurveda, Cina dan Unani-Tibb (Wijesekera, 1991)
Sistem Ayurveda yang berkembang di India dan kawasan Asia Tenggara menganut konsep pemulihan kesehatan berdasarkan pengembalian (restorasi) dan menjaga keseimbangan tubuh pada keadaan normal. Sistem Cina, yang berkembang di Cina, Jepang, Korea dan Taiwan, pada intinya menekankan pada pengembalian hubungan fungsional yang dinamis antar organ tubuh. Sedangkan sistem Unani-Tibb yang berkembang di Timur Tengah terutama Mesir dan Turki, berdasarkan konsep terapi yang sistematis. Di Indonesia sendiri, landasan ilmiah konsep pengobatan tradisional belum didokumentasikan secara sistematis, namun manfaatnya telah dirasakan terutama oleh masyarakat yang hidupnya jauh dari fasilitas pengobatan modern.
Penggunaan tanaman obat di kalangan masyarakat sangat luas, mulai untuk bahan penyedap hingga bahan baku industri obat-obatan dan kosmetika. Namun, di dalam sistim pelayanan kesehatan masyarakat, kenyataannya peran obat-obat alami belum sepenuhnya diakui, walaupun secara empiris manfaat obat-obat alami tersebut telah terbukti. Sebagai salah satu contoh adalah penggunaan jamu sebagai obat kuat, obat pegal linu, mempertahankan keayuan, pereda sakit saat datang bulan dan lain-lain, menyiratkan penggunaan jamu yang sangat luas di masyarakat. Memang disadari, bahwa produksi jamu belum banyak tersentuh oleh hasil-hasil penelitian karena antara lain disebabkan para produsen jamu pada umumnya masih berpegang teguh pada ramuan yang diturunkan turun-temurun. Akibatnya, hingga saat ini obat tradisional masih merupakan bahan pengobatan alternatif di samping obat modern.
Dengan adanya krisis moneter yang melanda Indonesia dan berlanjut menjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan, berdampak pada melonjaknya harga obat-obatan modern secara drastis oleh karena lebih dari 90% bahan bakunya tergantung impor. Obat tradisional, yang merupakan potensi bangsa Indonesia, oleh karena itu dapat ikut andil dalam memecahkan permasalahan ini dan sekaligus memperoleh serta mendayagunakan kesempatan untuk berperan sebagai unsur dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat, terlebih-lebih dengan adanya kebijakan Menteri Kesehatan RI tahun 1999 untuk mengembangkan dan memanfaatkan tanaman obat asli Indonesia untuk kebutuhan farmasi di Indonesia.
Kecenderungan kuat untuk menggunakan pengobatan dengan bahan alam, tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga berlaku di banyak negara karena cara-cara pengobatan ini menerapkan konsep back to nature atau kembali ke alam yang diyakini mempunyai efek samping yang lebih kecil dibandingkan obat-obat modern .
Mengingat peluang obat-obat alami dalam mengambil bagian di dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat cukup besar dan supaya dapat menjadi unsur dalam sistem ini, obat alami perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat memenuhi persyaratan keamanan, khasiat dan mutu.
IV. PENGERTIAN CARA PEMBUATAN OBAT TRADISIONAL YANG BAIK (CPOTB)


Obat tradisional merupakan produk yang dibuat dari bahan alam yang jenis dan sifat kandungannya sangat beragam sehingga untuk menjamin mutu obat tradisional diperlukan cara pembuatan yang baik dengan lebih memperhatikan proses produksi dan penanganan bahan baku. Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) meliputi seluruh aspek yang menyangkut pembuatan obat tradisional, yang bertujuan untuk menjamin agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Mutu produk tergantung dari bahan awal, proses produksi dan pengawasan mutu, bangunan, peralatan dan personalia yang menangani.
Penerapan CPOTB merupakan persyaratan kelayakan dasar untuk menerapkan sistem jaminan mutu yang diakui dunia internasional. Untuk itu sistem mutu hendaklah dibangun, dimantapkan dan diterapkan sehingga kebijakan yang ditetapkan dan tujuan yang diinginkan dapat dicapai. Dengan demikian penerapan CPOTB merupakan nilai tambah bagi produk obat tradisional Indonesia agar dapat bersaing dengan produk sejenis dari negara lain baik di pasar dalam negeri maupun internasional.
Mengingat pentingnya penerapan CPOTB maka pemerintah secara terus menerus memfasilitasi industri obat tradisional baik skala besar maupun kecil untuk dapat menerapkan CPOTB melalui langkah-langkah dan pentahapan yang terprogram. Dengan adanya perkembangan jenis produk obat bahan alam tidak hanya dalam bentuk Obat Tradisional (Jamu), tetapi juga dalam bentuk Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka, maka Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik ini dapat pula diberlakukan bagi industri yang memproduksi Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka

Tidak ada komentar: